
Jakarta, CNBC Indonesia – Pengamat ekonomi menilai pemerintah hendaknya tidak mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk peningkatan penyaluran kredit di tengah pandemi Covid-19. Sebab menurutnya, fokus saat ini bukan cuma penyaluran kredit, namun juga kualitas kredit.
Bila tidak ingat-ingat maka ada risiko peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL) yang mampu membahayakan industri perbankan.
“Justru mendapatkan bahaya pertama dengan adanya eksposur kredit, efek, apabila meningkatkan kredit di sedang wabah Covid-19, ” ujar Eksekutif Riset CORE, Piter A Redjalam dalam Webinar Nasional, “Peran Penting OJK dalam Menjaga Sistem Keuangan di Tengah Gejolak Perekonomian Akibat Pandemi COVID-19” seperti dikutip Minggu (26/7/2020).
Piter pula menilai OJK telah melakukan modus yang tepat dalam rangka mengikhtiarkan dampak dari pandemi Covid-19. Semenjak awal, OJK merespon dengan segera dengan cara pelonggaran restrukturisasi nilai.
“OJK paham risiko ke depan, secara terbatasnya aktivitasnya ekonomi, tekanan likuiditas, riil, risiko terbesar adalah lonjakan kredit macet, ” ujarnya.
Hal ini menurutnya bahasa dengan kondisi saat ini, di mana dunia usaha umumnya mengurangi pengeluaran arus kas perusahaan. Negeri usaha ini menurutnya mengambil langkah-langkah seperti mengurangi biaya operasional, utamanya pemotongan gaji atau merumahkan personel.
“Banyak dunia perlu korporasi yang benar-benar kehilangan perolehan. Di sisi lain mereka kudu membayar pengeluaran. Operasional, gas, sewa ruangan, biaya gaji pegawai & terakhir adalah cicil utang pokok kayu dan bunga, ” tegasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob)